Syarat Aborsi, Izin Tokoh Agama
KOMISI IX DPR tetap kukuh mengesahkan RUU Kesehatan. Meski keputusan itu menuai kontroversi, anggota komisi menutup kuping kanan kiri. Mengapa? Ada apa regulasi itu? Sejumlah kalangan meyakini UU itu bisa dibatalkan melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan, DPR memanfaatkan momen sempit menjelang Lebaran untuk mengesahkan RUU tersebut.
Padahal, kata dia, masih banyak celah pada beberapa pasal aturan tersebut. Karena itu, ICW bersama sejumlah LSM dan kalangan medis akan kembali meninjau pasal per pasal UU tersebut. "Jika masih tak banyak berubah, kami akan mengajukan judicial review ke MK. Kemungkinan untuk menempuh jalur itu 80 persen," terangnya kemarin.
Febri menilai, dalam draf RUU Kesehatan, terdapat banyak pasal sensitif. Salah satu di antaranya adalah pasal yang berkaitan dengan hak untuk melakukan tindakan aborsi. Dalam RUU itu disebutkan, tindakan aborsi harus mendapatkan persetujuan, antara lain, tokoh atau panel agama. Menurut dia, persetujuan dari panel agama itu masih belum dijelaskan dengan benar-benar terperinci dan secara birokratis sangat memberatkan.
Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti mengamini hal itu. Menurut dia, syarat-syarat aborsi sebagaimana diatur dalam RUU Kesehatan dinilai dapat menghambat upaya menurunkan angka kematian ibu. Sebab, ada birokrasi yang harus ditempuh perempuan yang ingin melakukan aborsi. "Birokrasi itu bisa membuat perempuan memutuskan untuk melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman. Itu malah mengakibatkan kematian pada perempuan," terangnya.
Ratna menyebutkan, pasal 84 ayat (2) RUU tercantum, larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau bagi kehamilan akibat pemerkosaan. Dengan syarat, tindakan aborsi mendapatkan rekomendasi dari lembaga, institusi, atau ahli atau tokoh agama setempat sesuai norma agama. "Ini tidak jelas," kritiknya.
Bukan hanya itu. Menurut dia, banyak pasal yang mendiskriminasi kaum perempuan. Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) melalui UU No 7/1984. Kenyataannya, justru UU Kesehatan dinilai bertentangan dengan prinsip nondiskriminasi serta ketentuan dalam Konvensi CEDAW (Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 24 tentang Perempuan dan Kesehatan).
Pasal 81 huruf (a) RUU Kesehatan menyebutkan, setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan atau kekerasan dengan pasangan yang sah. Dalam penjelasan itu, kata Ratna, yang dimaksud dengan pasangan yang sah adalah suami istri yang diakui dan terbukti sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.
"Artinya, pemerintah dalam hal ini tidak mempertimbangkan kelompok perempuan lajang, pernikahan yang tidak tercatat, dan sebagainya" Bukankah mereka adalah warga Indonesia juga?" katanya.
Ketua LSM Koalisi untuk Indonesia Sehat (KUIS) dr Firman Lubis juga menyorot masalah aborsi. Menurut dia, tindakan aborsi turut berkontribusi terhadap berkurangnya 15 persen dari angka kematian ibu melahirkan di Indonesia.
Firman menjelaskan, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi atau berada di kisaran 250 per 100.000 angka kelahiran hidup saat melahirkan. Jumlah tersebut, menurut dia, lima kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam. Saat ini angka kematian ibu melahirkan di Malaysia sekitar 40 per 100.000 perempuan. Karena itu, seharusnya pasal itu dipertimbangkan kembali.
Febri Hendri kembali memaparkan sejumlah pasal bermasalah. Yaitu, (DIM) 51 pasal 12 ayat 1 mengenai pelimpahan tanggung jawab negara kepada masyarakat. Pasal itu berbunyi, setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempetahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Bunyi pasal itu dinilai merupakan kemunduran dari UU Kesehatan Nomor 23/1992 pasal 9. Pasal itu menyebutkan, pemerintah bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan kesehatan bagi warganya. "Ada kemunduran. RUU ini berupaya mengurangi beban pemerintah dan sebaliknya menambah beban masyarakat," terangnya.
Ada juga pasal yang belum menyebutkan secara jelas dan eksplisit tentang hak pasien untuk mendapatkan bantuan hukum. "Dalam draf UU Kesehatan, memang disebutkan tentang ganti rugi, tetapi tidak tertulis secara jelas tentang bantuan atau perlindungan hukum untuk pasien," ungkapnya.
Padahal, dalam UU tentang Tenaga Kesehatan disebutkan secara jelas tentang ketentuan tenaga kesehatan yang memperoleh bantuan hukum. ICW mengkhawatirkan ketidakjelasan itu bisa mengakibatkan terulangnya kembali konflik hukum seperti kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni International.
Dengan berbagai persoalan itu, sudah sepatutnya UU Kesehatan kembali ditinjau ulang. Menurut Febri, jika tak ada aral melintang, ICW dan beberapa LSM yang lain bakal mengajukan judicial review.
Ketua Pansus RUU Kesehatan Ribka Tjiptaning mengatakan, RUU Kesehatan itu merupakan inisiatif dari DPR yang diajukan sejak 2003. RUU tersebut diajukan karena substansi UU No 23 Tahun 1992 dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain itu, kata dia, ada beberapa substansi baru yang dinilai tidak ada dalam UU Kesehatan lama. Salah satu di antaranya, mengatur ketentuan aborsi. Ribka menjelaskan, UU itu mengatur dua kondisi ketentuan aborsi.
Pertama, karena ada indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan. Kedaruratan itu bisa mengancam nyawa ibu dan janin atau menderita penyakit genetik berat dan cacat bawaan. Akibatnya, semua tidak bisa diperbaiki lagi hanya dengan mengorbankan salah satu di antaranya, nyawa ibu atau si cabang bayi.
Kedua, kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan. Namun, sebelum melakukan aborsi, korban pemerkosaan yang hamil harus melalui konseling pra tindakan dan pasca tindakan yang dilakukan konselor berkompeten. "Ukuran berkompeten dan berwenang bisa dilihat bahwa orang tersebut memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan," jelasnya. Yang menjadi konselor bisa dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.
Ribka menilai, pengesahan RUU itu juga untuk memperbaiki upaya perlindungan pelayanan kesehatan konsumen. Yaitu, problem utama masalah kesehatan di Indonesia.
Secara jelas, pasal dalam UU itu menyebutkan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien atau meminta uang muka. Selain itu, UU tersebut menyebutkan akan memberikan sanksi kepada pengelola rumah sakit jika menolak pasien dalam kondisi darurat.
Sanksi itu berupa kurungan 2-10 tahun. Termasuk denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. "Kalau kontroversi, itu wajar. Tapi, secara umum, UU ini telah memberikan perlindungan terhadap konsumen," jelasnya. (kit/iro)
Sumber :
Jawa Pos National Network (JPNN)
Info terkait baca juga RUU Kesehatan Disahkan:
Pembiayaan Kesehatan 5% Dari APBN dan 10% Dari APBD